Rumah Sakit Umum Kelas A
Pasal 6
(1) Rumah Sakit Umum Kelas A harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan
medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar, 5 (lima) Pelayanan
Spesialis Penunjang Medik, 12 (dua belas) Pelayanan Medik Spesialis Lain dan 13
(tiga belas) Pelayanan Medik Sub Spesialis.
(2) Kriteria, fasilitas dan kemampuan Rumah Sakit Umum Kelas A sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi Pelayanan Medik Umum, Pelayanan Gawat Darurat, Pelayanan
Medik Spesialis Dasar, Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, Pelayanan Medik
Spesialis Lain, Pelayanan Medik Spesialis Gigi Mulut, Pelayanan Medik Subspesialis,
Pelayanan Keperawatan dan Kebidanan, Pelayanan Penunjang Klinik, dan Pelayanan
Penunjang Non Klinik.
(3) Pelayanan Medik Umum terdiri dari Pelayanan Medik Dasar, Pelayanan Medik Gigi
Mulut dan Pelayanan Kesehatan Ibu Anak /Keluarga Berencana.
(4) Pelayanan Gawat Darurat harus dapat memberikan pelayanan gawat darurat 24 (dua
puluh empat) jam dan 7 (tujuh) hari seminggu dengan kemampuan melakukan
pemeriksaan awal kasus-kasus gawat darurat, melakukan resusitasi dan stabilisasi
sesuai dengan standar.
(5) Pelayanan Medik Spesialis Dasar terdiri dari Pelayanan Penyakit Dalam, Kesehatan
Anak, Bedah, Obstetri dan Ginekologi.
(6) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik terdiri dari Pelayanan Anestesiologi, Radiologi,
Rehabilitasi Medik, Patologi Klinik dan Patologi Anatomi.
(7) Pelayanan Medik Spesialis Lain sekurang-kurangnya terdiri dari Pelayanan Mata,
Telinga Hidung Tenggorokan, Syaraf, Jantung dan Pembuluh Darah, Kulit dan Kelamin,
Kedokteran Jiwa, Paru, Orthopedi, Urologi, Bedah Syaraf, Bedah Plastik dan
Kedokteran Forensik.
(8) Pelayanan Medik Spesialis Gigi Mulut terdiri dari Pelayanan Bedah Mulut,
Konservasi/Endodonsi, Periodonti, Orthodonti, Prosthodonti, Pedodonsi dan Penyakit
Mulut.
(9) Pelayanan Keperawatan dan Kebidanan terdiri dari pelayanan asuhan keperawatan
dan asuhan kebidanan.
(10) Pelayanan Medik Subspesialis terdiri dari Subspesialis Bedah, Penyakit Dalam,
Kesehatan Anak, Obstetri dan Ginekologi, Mata, Telinga Hidung Tenggorokan, Syaraf,
Jantung dan Pembuluh Darah, Kulit dan Kelamin, Jiwa, Paru, Orthopedi dan Gigi Mulut.
(11) Pelayanan Penunjang Klinik terdiri dari Perawatan Intensif, Pelayanan Darah, Gizi,
Farmasi, Sterilisasi Instrumen dan Rekam Medik.
(12) Pelayanan Penunjang Non Klinik terdiri dari pelayanan Laundry/Linen, Jasa Boga/
Dapur, Teknik dan Pemeliharaan Fasilitas, Pengelolaan Limbah, Gudang, Ambulance,Komunikasi, Pemulasaraan Jenazah, Pemadam Kebakaran, Pengelolaan Gas Medik
dan Penampungan Air Bersih.
Pasal 7
(1) Ketersediaan tenaga kesehatan disesuaikan dengan jenis dan tingkat pelayanan.
(2) Pada Pelayanan Medik Dasar minimal harus ada 18 (delapan belas) orang dokter
umum dan 4 (empat) orang dokter gigi sebagai tenaga tetap.
(3) Pada Pelayanan Medik Spesialis Dasar harus ada masing-masing minimal 6 (enam)
orang dokter spesialis dengan masing-masing 2 (dua) orang dokter spesialis sebagai
tenaga tetap.
(4) Pada Pelayanan Spesialis Penunjang Medik harus ada masing-masing minimal 3 (tiga)
orang dokter spesialis dengan masing-masing 1 (satu) orang dokter spesialis sebagai
tenaga tetap.
(5) Pada Pelayanan Medik Spesialis Lain harus ada masing-masing minimal 3 (tiga) orang
dokter spesialis dengan masing-masing 1 (satu) orang dokter spesialis sebagai tenaga
tetap.
(6) Untuk Pelayanan Medik Spesialis Gigi Mulut harus ada masing-masing minimal 1 (satu)
orang dokter gigi spesialis sebagai tenaga tetap.
(7) Pada Pelayanan Medik Subspesialis harus ada masing-masing minimal 2 (dua) orang
dokter subspesialis dengan masing-masing 1 (satu) orang dokter subspesialis sebagai
tenaga tetap.
(8) Perbandingan tenaga keperawatan dan tempat tidur adalah 1:1 dengan kualifikasi
tenaga keperawatan sesuai dengan pelayanan di Rumah Sakit.
(9) Tenaga penunjang berdasarkan kebutuhan Rumah Sakit.
Pasal 8
(1) Sarana prasarana Rumah Sakit harus memenuhi standar yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Peralatan yang dimiliki Rumah Sakit harus memenuhi standar yang ditetapkan oleh
Menteri.
(3) Peralatan radiologi dan kedokteran nuklir harus memenuhi standar sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Jumlah tempat tidur minimal 400 (empat ratus) buah.
Pasal 9
(1) Administrasi dan manajemen terdiri dari struktur organisasi dan tata laksana.
(2) Struktur organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri atas
Kepala Rumah Sakit atau Direktur Rumah Sakit, unsur pelayanan medis, unsur
keperawatan, unsur penunjang medis, komite medis, satuan pemeriksaan internal,
serta administrasi umum dan keuangan.
(3) Tata laksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tatalaksana organisasi,
standar pelayanan, standar operasional prosedur (SPO), Sistem Informasi Manajemen
Rumah Sakit (SIMRS), hospital by laws dan Medical Staff by laws.
Rumah Sakit Umum Kelas C
Pasal 14
(1) Rumah Sakit Umum Kelas C harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan
medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar dan 4 (empat)
Pelayanan Spesialis Penunjang Medik.
(2) Kriteria, fasilitas dan kemampuan Rumah Sakit Umum Kelas C sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi Pelayanan Medik Umum, Pelayanan Gawat Darurat, Pelayanan
Medik Spesialis Dasar, Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, Pelayanan Medik
Spesialis Gigi Mulut, Pelayanan Keperawatan dan Kebidanan, Pelayanan Penunjang
Klinik dan Pelayanan Penunjang Non Klinik.
(3) Pelayanan Medik Umum terdiri dari Pelayanan Medik Dasar, Pelayanan Medik Gigi
Mulut dan Pelayanan Kesehatan Ibu Anak /Keluarga Berencana.
(4) Pelayanan Gawat Darurat harus dapat memberikan pelayanan gawat darurat 24 (dua
puluh) jam dan 7 (tujuh) hari seminggu dengan kemampuan melakukan pemeriksaan
awal kasus-kasus gawat darurat, melakukan resusitasi dan stabilisasi sesuai dengan
standar.
(5) Pelayanan Medik Spesialis Dasar terdiri dari Pelayanan Penyakit Dalam, Kesehatan
Anak, Bedah, Obstetri dan Ginekologi.
(6) Pelayanan Medik Spesialis Gigi Mulut minimal 1 (satu) pelayanan.
(7) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik terdiri dari Pelayanan Anestesiologi, Radiologi,
Rehabilitasi Medik dan Patologi Klinik.
(8) Pelayanan Keperawatan dan Kebidanan terdiri dari pelayanan asuhan keperawatan
dan asuhan kebidanan.
(9) Pelayanan Penunjang Klinik terdiri dari Perawatan intensif, Pelayanan Darah, Gizi,
Farmasi, Sterilisasi Instrumen dan Rekam Medik
(10) Pelayanan Penunjang Non Klinik terdiri dari pelayanan Laundry/Linen, Jasa Boga /
Dapur, Teknik dan Pemeliharaan Fasilitas, Pengelolaan Limbah, Gudang, Ambulance,
Komunikasi, Kamar Jenazah, Pemadam Kebakaran, Pengelolaan Gas Medik dan
Penampungan Air Bersih.
Pasal 15
(1) Ketersediaan tenaga kesehatan disesuaikan dengan jenis dan tingkat pelayanan.
(2) Pada Pelayanan Medik Dasar minimal harus ada 9 (sembilan) orang dokter umum dan
2 (dua) orang dokter gigi sebagai tenaga tetap.
(3) Pada Pelayanan Medik Spesialis Dasar harus ada masing-masing minimal 2 (dua)
orang dokter spesialis setiap pelayanan dengan 2 (dua) orang dokter spesialis sebagai
tenaga tetap pada pelayanan yang berbeda.
(4) Pada setiap Pelayanan Spesialis Penunjang Medik masing-masing minimal 1 (satu)
orang dokter spesialis setiap pelayanan dengan 2 (dua) orang dokter spesialis sebagai
tenaga tetap pada pelayanan yang berbeda.
(5) Perbandingan tenaga keperawatan dan tempat tidur adalah 2:3 dengan kualifikasi
tenaga keperawatan sesuai dengan pelayanan di Rumah Sakit.
(6) Tenaga penunjang berdasarkan kebutuhan Rumah Sakit.
Pasal 16
(1) Sarana prasarana Rumah Sakit harus memenuhi standar yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Peralatan yang dimiliki Rumah Sakit harus memenuhi standar yang ditetapkan oleh
Menteri.
(3) Peralatan radiologi harus memenuhi standar sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Jumlah tempat tidur minimal 100 (seratus) buah.
Pasal 17
(1) Administrasi dan manajemen terdiri dari struktur organisasi dan tata laksana.
(2) Struktur organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri atas
Kepala Rumah Sakit atau Direktur Rumah Sakit, unsur pelayanan medis, unsur
keperawatan, unsur penunjang medis, komite medis, satuan pemeriksaan internal,
serta administrasi umum dan keuangan.
(3) Tata laksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tatalaksana organisasi,
standar pelayanan, standar operasional prosedur (SPO), Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMS) dan hospital by laws dan Medical Staff by laws.
Sumber : PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 340/MENKES/PER/III/2010
Minggu, 11 November 2012
FILARIASIS
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Filariasis
merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh cacing filaria yang ditularkan
melalui berbagai jenis nyamuk. Terdapat tiga spesies cacing penyebab Filariasis
yaitu: Wuchereria bancrofti; Brugia malayi; Brugia timori. Semua spesies
tersebut terdapat di Indonesia, namun lebih dari 70% kasus filariasis di
Indonesia disebabkan oleh Brugia malayi. Cacing tersebut hidup di
kelenjar dan saluran getah bening sehingga menyebabkan kerusakan pada sistem
limfatik yang dapat menimbulkan gejala akut dan kronis. Gejala akut berupa
peradangan kelenjar dan saluran getah bening (adenolimfangitis) terutama
di daerah pangkal paha dan ketiak tapi dapat pula di daerah lain. Gejala kronis
terjadi akibat penyumbatan aliran limfe terutama di daerah yang sama dengan
terjadinya peradangan dan menimbulkan gejala seperti kaki gajah (elephantiasis),
dan hidrokel. Berdasarkan laporan dari kabupaten/kota, jumlah kasus kronis
filariasis yang dilaporkan sampai tahun 2009 sudah sebanyak 11.914 kasus.
Filariasis
dapat ditularkan oleh seluruh jenis spesies nyamuk. Di Indonesia diperkirakan
terdapat lebih dari 23 spesies vektor nyamuk penular filariasis yang terdiri
dari genus Anopheles, Aedes, Culex, Mansonia, dan Armigeres. Untuk
menimbulkan gejala klinis penyakit filariasis diperlukan beberapa kali gigitan
nyamuk terinfeksi filaria dalam waktu yang lama.
Orang yang
terinfeksi mikrofilaria akibat adanya larva caing ini di dalam tubuhnya, tidak
selalu menimbukan gejala. Gejala yang timbul biasanya diakibatkan oleh larva
cacing yang merusak kelenjar getah bening sehingga mengakibatkan tersumbatnya
aliran pembuluh limfa. Gejala yang timbul biasanya berupa pembengkakan (edema)
di daerah tertentu (pada aliran pembuluh limfa di dalam tubuh manusia). Gejala
ini dapat berupa pembesaran tungkai/kaki (kaki gajah) atau lengan dan
pembesaran skrotum/vagina yang pembengkakan(edema)nya bersifat permanen.
Penyakit
filariasis bersifat menahun (kronis) dan jarang menimbulkan kematian pada
penderitanya. Namun, bila penderita tidak mendapatkan pengobatan, penyakit ini
dapat menimbulkan cacat menetap pada bagian yang mengalami pembengkakan
(seperti: kaki, lengan dan alat kelamin) baik pada penderita laki-laki maupun
perempuan.
Saat ini,
diperkirakan larva cacing tersebut telah menginfeksi lebih dari 700 juta orang
di seluruh dunia, dimana 60 juta orang diantaranya (64%) terdapat di regional
Asia Tenggara. (WHO, 2009). Di Asia Tenggara, terdapat 11 negara yang endemis
terhadap filariasis dan salah satu diantaranya adalah Indonesia. Indonesia
merupakan salah satu negara di Asia Tenggara dengan jumlah penduduk terbanyak
dan wilayah yang luas namun memiliki masalah filariasis yang kompleks. Di
Indonesia, ke tiga jenis cacing filaria (W. Brancrofti, B malayi dan B
timori) dapat ditemukan. (WHO, 2009) .
Filariasis
menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia sesuai dengan resolusi World
Health Assembly (WHA) pada tahun 1997. Program eleminasi filariasis di
dunia dimulai berdasarkan deklarasi WHO tahun 2000. di Indonesia program eliminasi
filariasis dimulai pada tahun 2002. Untuk mencapai eliminasi, di Indonesia
ditetapkan dua pilar yang akan dilaksanakan yaitu: 1).Memutuskan rantai
penularan dengan pemberian obat massal pencegahan filariasis (POMP filariasis)
di daerah endemis; dan 2).Mencegah dan membatasi kecacatan karena filariasis.
Di
Sulawesi Selatan penyakit ini tersebar cukup luas dengan rentang usia yang
cukup variatif, baik laki-laki maupun perempuan.Penularannya yang cepat selain
cacat menetap yang diakibatkannya membuat masyarakat perlu diberi informasi
sebanyak-banyaknya mengenai kecenderungan penyakit ini.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan pernyataan yang diuraikan pada latar belakang, maka yang
menjadi rumusan masalah yaitu :
§ Apa itu
penyakit Kaki Gajah (Filariasis / Elephantiasis) ?
§ Bagaimana
epidemiologi penyakit kaki gajah (Filariasis / Elephantiasis) ?
§ Bagaimanakah
siklus hidup cacing filarial ?
§ Seperti
apa etiologi, masa inkubasi dan diagnosis penyakit kaki gajah (Filariasis /
Elephantiasis) ?
§ Bagaimana
Riwayat Alamiah penyakit filariasis ?
§ Seperti
apa Manifestasi Klinik dari penyakit kaki gajah (Filariasis / Elephantiasis) ?
§ Bagaimana
kah penyakit kaki gajah dilihat dari Patologi dan Imunologinya ?
§ Bagaimana
Mekanisme Penularan Serta Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Kaki Gajah
(Filariasis / Elephantiasis) ?
1.3
Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan
dari pembuatan makalah ini yaitu :
§ Menjelaskan
pengertian penyakit Kaki Gajah (Filariasis / Elephantiasis)
§ Menyajikan
epidemiologi penyakit kaki gajah (Filariasis / Elephantiasis)
§ Menjelaskan
siklus hidup cacing filarial
§ Menjelaskan
etiologi, masa inkubasi dan diagnosis penyakit kaki gajah (Filariasis /
Elephantiasis
§ Mendeskripsikan
Riwayat Alamiah penyakit filariasis
§ Menjelaskan
Manifestasi Klinik dari penyakit kaki gajah (Filariasis / Elephantiasis)
§ Menjelaskan
penyakit kaki gajah dilihat dari Patologi dan Imunologinya
§ Menyajikan
Mekanisme Penularan Serta Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Kaki Gajah
(Filariasis / Elephantiasis).
BAB II
PEMBAHASAN
3.1 Gambaran Umum
Filariasis
adalah penyakit menular ( Penyakit Kaki Gajah ) yang disebabkan oleh larva
cacing Filaria (Wuchereria Brancrofti, Brugia Malayi dan Brugia
Timori) yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk, baik nyamuk jenis
culex, aedes, anopheles, dan jenis nyamuk lainnya. Penyakit ini ditularkan
melalui gigitan nyamuk dari orang yang mengandung larva cacing (mikrofilaria)
dari salah satu cacing filaria di atas kepada orang yang sehat (tidak
mengandung) .
Penyakit
ini jarang fatal namun dampak psikis dan sosioekonomi yang ditimbulkan cukup
nyata. Adapun filariasis tidak hanya menyerang manusia melainkan juga hewan.
Filariasis disebabkan oleh cacing nematoda golongan filaria. Beberapa spesies
filaria yang ternama di Indonesia adalah Wuchereria bancrofti, Brugia
malayi, dan Brugia timori. Cacing Wuchereria bancrofti dapat
menyebabkan penyakit kaki gajah karena sifatnya yang dapat mengganggu peredaran
getah bening. Sedangkan Brugia malayi dan Brugia timori tidak.
Penyakit
ini bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan, dapat
menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik
perempuan maupun laki-laki. Penyakit Kaki Gajah bukanlah penyakit yang
mematikan, namun demikian bagi penderita mungkin menjadi sesuatu yang dirasakan
memalukan bahkan dapat mengganggu aktifitas sehari-hari. Tidak seperti Malaria
dan Demam berdarah, Filariasis dapat ditularkan oleh 23 spesies nyamuk dari
genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes & Armigeres. Karena inilah,
Filariasis dapat menular dengan sangat cepat. Tanda dan Gejala Penyakit Kaki
Gajah
Seseorang yang terinfeksi penyakit kaki gajah umumnya terjadi pada usia kanak-kanak, di mana dalam waktu yang cukup lama (bertahun-tahun) mulai dirasakan perkembangannya.
Seseorang yang terinfeksi penyakit kaki gajah umumnya terjadi pada usia kanak-kanak, di mana dalam waktu yang cukup lama (bertahun-tahun) mulai dirasakan perkembangannya.
3.2
Siklus Hidup Cacing Filaria
Siklus hidup
cacing Filaria terjadi melalui dua tahap, yaitu:
1. Tahap pertama,
perkembangan cacing Filaria dalam tubuh nyamuk sebagai vector yang
masa pertumbuhannya kurang lebih 2 minggu.
2. Tahap kedua,
perkembangan cacing Filaria dalam tubuh manusia (hospes) kurang lebih
7 bulan.
Siklus hidup cacing Filaria dalam tubuh nyamuk
Siklus hidup pada
tubuh nyamuk terjadi apabila nyamuk tersebut menggigit dan menghisap darah
orang yang terkena filariasais, sehingga mikrofilaria yang terdapat di tubuh
penderita ikut terhisap ke dalam tubuh nyamuk. Mikrofilaria yang masuk ke
paskan sarung pembungkusnya, kemudian mikrofilaria menembus dinding lambung dan
bersarang di antara otot-otot dada (toraks).
Bentuk cacing
Filaria menyerupai sosis yang disebut larva stadium I. Dalam waktu kurang lebih
1 minggu, larva ini berganti kulit, tumbuh akan lebih gemuk dan panjang yang
disebut larva stadium II. Pada hari ke sepuluh dan seterusnya, larva berganti
kulit untuk kedua kalinya, sehingga tumbuh semakin panjang dan lebih kurus, ini
yang sering disebut larva stadium III. Gerak larva stadium III ini sangat
aktif, sehingga larva mulai bermigrasi (pindah), mula-mula ke rongga perut (abdomen)
kemudian pindah ke kepala dan ke alat tusuk nyamuk.
Perkembangan filaria dalam tubuh manusia
Siklus hidup
cacing Filaria dalam tubuh manusia terjadi apabila nyamuk yang mengendung
mikrofilaria ini menggigit manusia. Maka mikrofilaria yang sudah berbentuk
larva infektif (larva stadium III) secara aktif ikut masuk ke dalam tubuh
manusia (hospes).
Bersama-sama
dengan aliran darah pada tubuh manusia, larva keluar dari pembuluh darah
kapiler dan masuk ke pembuluh limfe. Di dalam pembuluh limfe, larva mengalami
dua kali pergantian kulit dan tumbuh menjadi cacing dewasa yang sering disebut
larva stadium IV dan stadium V. Cacing Filaria yang sudah dewasa bertempat di
pembuluh limfe, sehingga akan menyumbat pembuluh limfe dan akan terjadi
pembengkakan, misalnya pada kaki dan disebut kaki gajah (filariasis).
3.3
Etiologi, Masa Inkubasi, Diagnosis Penyakit Kaki Gajah (Filariasis /
Elephantiasis)
Etiologi.
Wuchereria
bancrofti hanya ditemukan pada manusia; Brugia malayi sering kali menyebar
kepada manusia melalui inang hewan. Parasit dewasa hidup di sistem limphatik.
Microfilaria yang dilepaskan oleh betina gravit ditemukan di darah perifer,
biasanya pada malam hari. Infeksi menyebar melalui banyak genera nyamuk; vektor
Wuchereria bancrofti adalah aedes, culex, dan anopheles;
vektor Brugia malayi adalah anopheles dan mansonia. Microfilaria dimakan
oleh nyamuk, berkembang di otot torax serangga, dan kemudian matur dan
bermigrasi ke bagian mulut serangga. Jika nyamuk terinfeksi menggigit inang
baru, microfilaria masuk ke tempat gigitan dan akhirnya mencapai saluran
limfatik, dimana mereka manjadi matur.
Inflamasi
dan fibrosis yang terjadi disekitar cacing dewasa dan mudah menghasilkan
obstruksi limfatik progresif. Microfilaria mungkin tidak berperang langsung
dalam reaksi inang.
Masa Inkubasi.
Pada manusia antara 3-15 bulan sedangkan pada hewan bervariasi sampai beberapa bulan.
Masa inkubasi mungkin sesingkat 2 bulan. Periode pra paten (dari saat infeksi
sampai tampaknya microfilaria di dalam darah) sekurang-kurangnya 8 bulan.
Diagnosis.
Diagnosis Klinik
Ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik. Diagnosis klinik penting
dalam menentukan angka kesakitan akut dan menahun (Acute and Chronic Disease
Rate).
Pada keadaan amikrofilaremik, gejala klinis yang mendukung dalam
diagnosis filariasis adalah gejala dan pengalaman limfadenitis
retrograd, limfadenitis berulang dan gejala menahun.
Diagnosis Parasitologik
Ditemukan mikrofilaria pada pemeriksaan darah jari pada malam hari.
Pemeriksaan dapat dilakukan slang hari, 30 menit setelah diberi
dietilkarbamasin 100 mg. Dari mikrofilaria secara morfologis dapat ditentukan
species cacing filaria.
Pada keadaan amikrofilaremia seperti pada keadaan prepaten, inkubasi,
amikrofilaremia dengan gejala menahun, occult filariasis, maka deteksi
antibodi dan/atau antigen dengan cara immunodiagnosis diharapkan dapat
menunjang diagnosis.
Adanya antibodi tidak menunjukkan korelasi positif dengan mikrofilaremi,
tidak membedakan infeksi dini dan infeksi lama. Deteksi antigen merupakan
deteksi metabolit, ekskresi dan sekresi parasit tersebut, sehingga lebih
mendekati diagnosis parasitologik, antibodi monokional terhadap O.gibsoni menunjukkan
korelasi yang cukup baik dengan mikrofilaremia W. bancrofti di Papua New
Guinea.
Diagnosis Epidemiologik
Endemisitas filariasis suatu daerah ditentukan dengan menentukan microfilarial
rate (mf rate), Acute Disease Rate (ADR) dan Chronic Disease Rate (CDR) dengan
memeriksa sedikitnya 10% dari jumlah penduduk.
Pendekatan praktis untuk menentukan daerah endemis filariasis
dapat melalui penemuan penderita elefantiasis.
Dengan ditemukannya satu penderita elefantiasis di antara 1000
penduduk, dapat diperkirakan ada 10 penderita klinis akut dan 100 yang
mikrofilaremik.
DIFFERENSIAL DIAGNOSIS
Ø Pembesaran Ekstremitas
Limfangitis bakterial akut, limfadenitis kronik, Limfogranuloma inguinale dan limfadenitis tuberkulosis dapat menyebabkan limfedema ekstremitas bawah. Trauma pada saluran limfe akibat operasi juga dapat menyebabkan limfedema. Pasien dengan limfedema tanpa adanya riwayat serangat akut berulang dikenal sebagai cold lymphedema merupakan kelainan bawaan. Tumor dan pembentukkan jaringan fibrotik juga dapat menyebabkan tekanan pada saluran limfe dan menurunkan aliran limfe sehingga terjadi limfedema secara perlahan. Mastektomi dengan limfedenektomi merupakan salah satu hal penyebab terjadinya limfedema pada ekstremitas atas.
Limfangitis bakterial akut, limfadenitis kronik, Limfogranuloma inguinale dan limfadenitis tuberkulosis dapat menyebabkan limfedema ekstremitas bawah. Trauma pada saluran limfe akibat operasi juga dapat menyebabkan limfedema. Pasien dengan limfedema tanpa adanya riwayat serangat akut berulang dikenal sebagai cold lymphedema merupakan kelainan bawaan. Tumor dan pembentukkan jaringan fibrotik juga dapat menyebabkan tekanan pada saluran limfe dan menurunkan aliran limfe sehingga terjadi limfedema secara perlahan. Mastektomi dengan limfedenektomi merupakan salah satu hal penyebab terjadinya limfedema pada ekstremitas atas.
Ø Lipedema
Pembesaran kronik akibat jaringan lemak yang berlebihan, biasanya pada tungkai atas dan pinggul. Kelainan simetris, telapak kaki normal. Kelainan ini terjadi pada saat pubertas atau 1-2 tahun sesudahnya.
Pembesaran kronik akibat jaringan lemak yang berlebihan, biasanya pada tungkai atas dan pinggul. Kelainan simetris, telapak kaki normal. Kelainan ini terjadi pada saat pubertas atau 1-2 tahun sesudahnya.
Ø Hernia Inguinalis
Kelainan ini dapat menyerupai hidrokel. Pada hernia batas atas masuk kedalam perut,testis teraba, isi dapat keluar masuk dan pada auskultasi bising usus (+). Pada saat pasien berdiri terlihat dasar hidrokel menyempit berbeda dengan hernia yang dasarnya melebar.
Kelainan ini dapat menyerupai hidrokel. Pada hernia batas atas masuk kedalam perut,testis teraba, isi dapat keluar masuk dan pada auskultasi bising usus (+). Pada saat pasien berdiri terlihat dasar hidrokel menyempit berbeda dengan hernia yang dasarnya melebar.
Ø Knobs
Knobs/lump dengan pertumbuhan cepat dengan atau tanpa perdarahan dapat disebabkan oleh kanker kulit. Misetoma dan kromoblastosis juga dapat memberikan gambaran benjolan/nodus. Misetoma merupakan infeksi kronik yang disebabkan oleh jamur yang ditemukan pada tanah dan tumbuhan. Jamur masuk melalui luka kemudian terbentuk abses, sinus dan fistel yang multiple. Didalam sinus terdapat butir-butir (granules) yang merupakan kumpulan dari jamur tersebut. Kromoblastosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh jamur berpigmen yang ditemukan pada kayu, tumbuhan dan tanah. Perlu dibedakan kromoblastomikosis dengan limfedema stadium 6 yang memberikan gambaran mossy foot.
Knobs/lump dengan pertumbuhan cepat dengan atau tanpa perdarahan dapat disebabkan oleh kanker kulit. Misetoma dan kromoblastosis juga dapat memberikan gambaran benjolan/nodus. Misetoma merupakan infeksi kronik yang disebabkan oleh jamur yang ditemukan pada tanah dan tumbuhan. Jamur masuk melalui luka kemudian terbentuk abses, sinus dan fistel yang multiple. Didalam sinus terdapat butir-butir (granules) yang merupakan kumpulan dari jamur tersebut. Kromoblastosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh jamur berpigmen yang ditemukan pada kayu, tumbuhan dan tanah. Perlu dibedakan kromoblastomikosis dengan limfedema stadium 6 yang memberikan gambaran mossy foot.
Ø Kiluria
Keadaan ini dapat juga disebabkan oleh trauma, kehamilan, tumor atau diabetes mellitus. Pada diabetes mellitus, kiluria terjadi akibat pus. Untuk membedakan ke dua keadaan ini, pasien diminta menampung urin dalam wadah transparan dan membiarkan urin selama 30-40 menit. Jika terjadi pemisahan antara sedimen dan urin, maka pasien tidak menderita kiluria.
Keadaan ini dapat juga disebabkan oleh trauma, kehamilan, tumor atau diabetes mellitus. Pada diabetes mellitus, kiluria terjadi akibat pus. Untuk membedakan ke dua keadaan ini, pasien diminta menampung urin dalam wadah transparan dan membiarkan urin selama 30-40 menit. Jika terjadi pemisahan antara sedimen dan urin, maka pasien tidak menderita kiluria.
3.4 Riwayat Alamiah
1.Prepatogenesis
Pada
filariasis, fase ini terjadi ketika seseorang digigit nyamuk yang
sudahterinfeksi, yaitu nyamuk yang dalam tubuhnya mengandung larva stadium 3
(L3). Masa prepaten, masa antara masuknya larva infektif sampai terjadinya
mikrofilaremia berkisar antara 37 bulan.Hanya sebagian saja dari penduduk
di daerah endemik yang menjadimikrofilaremik, dan dari kelompok mikrofilaremik
inipun tidak semua kemudianmenunjukkan gejala klinis. Nyamuk sendiri mendapat
mikro filaria karena menghisapdarah penderita atau dari hewan yang mengandung
mikrofilaria. Nyamuk sebagai vektor
menghisap
darah penderita (mikrofilaremia) dan pada saat itu beberapa microfilaria ikut terhisap
bersama darah dan masuk dalam lambung nyamuk.Dalam tubuh nyamuk microfilaria
tidak berkembang biak tetapi hanya berubah bentuk dalam beberapa hari dari
larva 1 sampai menjadi larva 3, karenanya diperlukangigitan berulang kali untuk
terjadinya infeksi. Didalam tubuh manusia larva 3 menujusistem limfe dan selanjutnya
tumbuh menjadi cacing dewasa jantan atau betina serta bekembang biak. Di
sini faktor penyebab pertama belum menimbulkan penyakit, tetapitelah mulai
meletakkan dasar-dasar bagi berkembangnya penyakit
2.
Patogenesis
1. Fase Subklinis
Fase ini
disebut juga dengan pre-symtomatic, dimana perubahan faali atau
systemdalam tubuh manusia (proses terjadinya sakit) telah terjadi, namun
perubahan tersebuttidak cukup kuat untuk menimbulkan keluhan sakit dan pada
umumnya pencarian pengobatan belum dilakukan. Akan tetapi jika dilakukan
pemeriksaan denganmenggunakan alat-alat kesehatan seperti pemeriksaan
mikroskopis darah pada waktumalam hari, maka akan ditemukan mikrofilaria dalam
tubuh mereka. Begitu pula jikameminum obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC)
yang sedang digalakkan oleh pemerintah dalam program eliminasi penyakit
kaki gajah, akan timbul efek sampingseperti sakit kepala, sakit tulang atau
otot, pusing, anoreksia, muntah, demam, danalergi yang menandakan terdapat
microfilaria dalam tubuh mereka.
2. Fase Klinis
Pada fase
ini perubahan-perubahan yang terjadi pada jaringan tubuh telah cukupuntuk
memunculkan gejala-gejala (symptoms) dan tanda-tanda (signs) penyakit.Adapun
gejala akut yang dapat terjadi antara lain :
§ Demam
berulang-ulang selama 3-5 hari, demam dapat hilang bila istirahat danmuncul
lagi setelah bekerja berat
§ Pembengkakan
kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan paha,ketiak
(lymphadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit
§ Radang
saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang
menjalar dari pangkal kaki atau pangkal lengan kearah ujung (retrograde
lymphangitis)
§ Filarial
abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah bening,dapat pecah
dan mengeluarkan nanah serta darah
§ Pembesaran
tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak kemerahandan terasa
panas (early lymphodema)
3.Fase Konvalesens
Merupakan
tahap akhir dari fase klinis yang dapat berupa fase konvalesens(penyembuhan)
dan meninggal. Fase konvalesens dapat berkembang menjadi sembuhtotal, sembuh
dengan cacat atau gejala sisa (disabilitas atau sekuele). Filariasis
dapatdisembuhkan jika diobati sedini mungkin, namun jika tidak mendapatkan
pengobatandapat mengakibatkan Disabilitas (kecacatan/ketidakmampuan) karena
terjadi penurunanfungsi sebagian struktur/organ tubuh, yaitu berupa pembesaran
kaki, lengan, dan alatkelamin baik perempuan maupun laki-laki sehingga
menurunkan fungsi aktivitasseseorang secara keseluruhan.
3.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi
klinis filariasis dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk usia, jenis
kelamin, lokasi anatomis cacing dewasa filaria, respon imun, riwayat pajanan
sebelumnya, dan infeksi sekunder. Berdasarkan pemeriksaan fisik dan
parasitologi, manifestasi klinis filariasis dibagi dalam 4 stadium yaitu:
1.Asimptomatik atau subklinis filariasis
a. Individu asimptomatik dengan mikrofilaremia
1.Asimptomatik atau subklinis filariasis
a. Individu asimptomatik dengan mikrofilaremia
Pada
daerah endemik dapat ditemukan penduduk dengan mikrofilaria positif tetapi
tidak menunjukkan gejala klinis. Angka
kejadian stadium ini meningkat sesuai umur dan biasanya mencapai puncaknya pada
usia 20-30 tahun, dan lebih banyak terjadi pada pria dibandingkan wanita.
Banyak bukti menunjukan bahwa walaupun secara klinis asimptomatik tetapi semua
individu yang terinfeksi W. bancrofti dan B.malayi mempunyai gejala subklinis.
Hal tersebut terlihat pada 40% individu mikrofilaremia ini menderita hematuri
dan atau proteinuria yg menunjukkan kerusakan ginjal minimal. Kelainan ginjal
ini berhubungan dengan adanya mikrofilaria dibandingkan dengan adanya cacing
dewasa, karena hilangnya mikrofilaria dalam darah akan mengembalikan fungsi
ginjal menjadi normal. Dengan lymphoscintigraphy tampak pelebaran dan
terbelitnya limfatik disertai tidak normalnya aliran limfe. Dengan USG juga
terlihat adanya limfangiektasia. Keadaan
ini dapat bertahan selama bertahun-tahun yang kemudian secara perlahan
berlanjut ke stadium akut atau kronik.
b.Individu asimptomatik dan amikrofilaremia dengan
antigen filarial
Pada daerah endemik terdapat populasi yang terpajan dengan larva infektif (L3) yang tidak menunjukkan adanya gejala klinis atau adanya infeksi, tetapi mempunyai antibodi-antifilaria dalam tubuhnya.
Pada daerah endemik terdapat populasi yang terpajan dengan larva infektif (L3) yang tidak menunjukkan adanya gejala klinis atau adanya infeksi, tetapi mempunyai antibodi-antifilaria dalam tubuhnya.
2. Stadium akut
Manifestasi
klinis akut dari filariasis ditandai dengan serangan demam berulang yang
disertai pembesaran kelenjar (adenitis) dan saluran limfe (lymphangitis)
disebut adenolimfangitis (ADL). Etiologi serangan akut masih diperdebatkan,
apakah akibat adanya infeksi sekunder, respon imun terhadap antigen filarial,
dan dilepaskannya zat-zat dari cacing yang mati atau hidup. Terdapat dua
mekanisme berbeda dalam terjadinya serangan akut pada daerah endemik:
a) Dermatolimfangioadenitis
akut (DLAA), proses di awali di kulit yang kemudian menyebar ke saluran limfe dan kelenjar limfe. DLAA
ditandai dengan adanya plak kutan atau subkutan yang disertai dengan
limfangitis dengan gambaran retikular dan adenitis regional. Terdapat pula
gejala konstitusional sistemik maupun lokal yang berat berupa demam, menggigil
dan edema pada tungkai yang terkena. Terdapat riwayat trauma, gigitan serangga,
luka mekanik sebagai porte d’ entrée. DLAA adalah ADL sekunder yang disebabkan
oleh infeksi bakteri atau jamur.3 DLA secara klinis menyerupai selulitis atau
erysipelas.
b) Limfangitis
filarial akut (LFA), merupakan reaksi imunologik dengan matinya cacing dewasa
akibat sistim imun penderita atau terapi. Kelainan ini ditandai dengan adanya
Nodus atau cord yang disertai limfadenitis atau limfangitis retrograde pada
ekstremitas bawah atau atas, yang menyebar secara sentrifugal. Keadaan ini
dapat terjadi secara berulang pada lokasi yang sama. Filariasis bancrofti
sering hanya mengenai sistem limfatik genitalia pria sehingga mengakibatkan
terjadinya funikulitis, epididimitis atau orkitis, sedangkan pada filariasis
brugia, kelenjar limfe yang terkena biasanya daerah inguinal atau aksila yang
nantinya berkembang menjadi abses yang pecah meninggalkan jaringan parut.
Keluhan biasanya timbul setelah bekerja berat. Pada filariasis brugia, sistem
limfe alat kelamin tidak pernah terkena. Pada masa resolusi fase akut, kulit
pada ekstremitas yang terlibat akan mengalami eksfoliatif yang luas. Keadaan
akut dapat berulang 6-10 episode per tahun dengan lama setiap episode 3-7
hari.9 Serangan berulang adenolimfangitis (ADL) merupakan faktor penting dalam
perkembangan penyakit. Pani dkk membuktikan bahwa terdapat hubungan langsung
antara jumlah serangan akut dan beratnya limfedema. Makin lama gejala akut
semakin ringan, yang akhirnya menuju pada stadium kronik. DLAA lebih sering
ditemukan dibandingkan LFA.
3. Stadium kronik
Manisfestasi
kronis filariasis jarang terlihat sebelum usia lebih dari tahun dan hanya
sebagian kecil dari populasi yang terinfeksi mengalami stadium ini. Hidrokel,
limfedema, elephantiasis tungkai bawah, lengan atau skrotum, kiluria adalah
manifestasi utama dari filariasis kronik. Hidrokel merupakan pembesaran testis
akibat terkumpulnya cairan limfe dalam tunika vaginalis testis. Kelainan ini
disebabkan oleh W. bancrofti dan merupakan manifestasi kronis yang paling
sering ditemukan pada infeksi filariasis. Pada daerah endemik, 40-60% laki-laki
dewasa memiliki hidrokel. Cairan yang terkumpul biasanya bening. Uji
transluminasi dapat membantu menegakkan diagnosis. Limfedema pada ekstremitas
atas jarang terjadi dibandingkan dengan limfedema pada ekstremitas bawah. Pada
filariasis bancrofti seluruh tungkai dapat terkena, berbeda dengan filariasis
brugia yang hanya mengenai kaki dibawah lutut dan kadang-kadang lengan dibawah
siku.Gerusa dkk (2000) menetapkan 7 stadium limfedema. Stadium 1 menggambarkan
limfedema yang ringan atau sedang sedangkan stadium 7 menggambarkan keadaan
yang paling berat. Pembagian ini berkaitan dengan beratnya limfedema, resiko
terkenanya serangan akut dan dalam penatalaksanaan. Limfedema pada filariasis
biasanya terjadi setelah serangan akut berulang kali. Kelainan pada kulit dapat
terlihat sebagai kulit yang menebal, hiperkeratosis, hipotrikosis atau
hipertrikosis, pigmentasi, ulkus kronik, nodus dermal dan subepidermal.
Limfedema
pada genitalia melibatkan pembengkakan pada skrotum dan atau penebalan kulit
skrotum atau kulit penis yang akan memberikan gambaran peau d’ orange yang
nantinya berkembang menjadi lesi verukosa. Kiluria terjadi akibat bocornya atau
pecahnya saluran limfe oleh cacing dewasa yang menyebabkan masuknya cairan
limfe ke dalam saluran kemih. Kelainan ini disebabkan oleh W. bancrofti. Pasien
dengan kiluria mengeluhkan adanya urine yang berwarna putih seperti susu (milky
urine). Diagnosis kiluria ditetapkan dengan ditemukannya limfosit pada urine.
Limforea
sering terjadi pada dinding skrotum dimana cairan limfe meleleh keluar dari
saluran limfe yang pecah. Pada daerah endemik, payudara dapat terkena, baik
unilateral ataupun bilateral. Hal ini harus dapat dibedakan dengan mastitis
kronik dan limfedema pasca mastektom.
4.Occult filariasis
4.Occult filariasis
Occult
filariasis merupakan infeksi filariasis yang tidak memperlihatkan gejala klasik
filariasis serta tidak ditemukannya mikrofilaria dalam darah, tetapi ditemukan
dalam organ dalam. Occult filariasis terjadi akibat reaksi hipersensitivitas
tubuh penderita terhadap antigen mikrofilaria. Contoh yang paling jelas adalah
Tropical Pulmonary Eosinophilia (TPE). TPE sering ditemukan di Southeast Asia,
India, dan beberapa daerah di Cina dan Afrika TPE adalah suatu sindrom yang
terdiri dari gangguan fungsi paru, hipereosinofilia (>3000mm3), peningkatan
antibodi antifilaria, peningkatan IgE antifilaria dan respon terhadap terapi
DEC. Manifestasi klinis TPE berupa gejala yang menyerupai asma bronkhial (
batuk, sesak nafas, dan wheezing),penurunan berat badan, demam, limfadenopati
lokal, hepatosplenomegali. Pada foto torak tampak peningkatan corakan
bronkovaskular terutama didasar paru, dan pemeriksaan fungsi paru tampak defek
obstruktif. Jika pasien dengan TPE tidak diobati, maka penyakit akan berkembang
menjadi penyakit paru restriktif kronik dengan fibrosis interstisial.
Pada
daerah endemis, perjalanan penyakit filariasis berbeda antara penduduk asli
dengan penduduk yang berasal dari daerah non-endemis dimana gejala dan tanda
lebih cepat terjadi berupa limfadenitis, hepatomegali dan splenomegali.
Llimfedema dapat terjadi dalam waktu 6 bulan dan dapat berlanjut menjadi
elefantiasis dalam kurun waktu 1 tahun. Hal ini diakibatkan karena pendatang
tidak mempunyai toleransi imunologik terhadap antigen filaria yang biasanya
terlihat pada pajanan lama. Resiko terjadinya manifestasi akut dan kronik pada
seseorangan yang berkunjung ke daerah endemis sangat kecil, hal tersebut
menunjukkan diperlukannya kontak/pajanan berulang dengan nyamuk yang
terinfeksi. Riwayat sensitisasi prenatal dan toleransi imunologik terhadap
antigen filarial mempengaruhi respon patologi infeksi dan tendensi terjadinya
manifestasi subklinis pada masa kanak-kanak.
3.6
Patologi dan Imunologi
Pada
filariasis, sebagian besar kerusakan terjadi pada pembuluh limfe yang
disebabkan oleh cacing dewasa maupun oleh respon imun inang terhadap cacing
dewasa yang hidup didalamnya. Kondisi patologis yang disebabkan oleh parasit
dan respon imun atau kombinasi diantara keduanya agak berbeda. Pada percobaan
menggunkan mencit diperoleh informasi bahwa cacing dewasa menginduksi
proliferasi sel endotel dan dilatasi limfatik (MCMAHON dan SIMONSEN, 1996). Selanjutnya
dilatasi limfatik tersebut akan diikuti dengan odema limfatik (lymphoedema).
Disisi lain respon imun terhadap cacing
dewasa menyebabkan terbentuknya granuloma inflamatorik (inflammatory
granuloma reaction) disekitar parasit (MCMAHON dan SIMONSEN, 1996)
yang diinisiasi oleh reaksi antigen-antibodi. Foki granuloma inflamatorik dan
kompek antigen-antibodi menyebabkan tyerjadinya obstruksi limfatik dan odema
limfa. Gabungan dari dua kondisi patologis yang disebabkan oleh parasit dan
respon imun menyebabkan terjadinya kaki gajah. Kaki gajah termanifestasi
sebagai konsekuensi karena adanya obstruksi limfatik yang menyebabkan pembengkakan
saluran limfe akibat odem (baik akibat sensitisasi parasit, respon imun atau keduanya).
Kaki gajah
tidak terbentuk seketika secara akut tetapi terbentuk akibat edema limfatik intermiten
yang terkait dengan reinfeksi kontinyu (berulang ulang) periodikal yang menyebabkan
kerusakan kolateral pembuluh limfa dan pembentukan jaringan fibrosa serta kalsifikasi
(ANONIM., 1996, MCMAHON dan SIMONSEN, 1996).
Terdapat
perbedaan imunopatogenesis pada limfatik filariasis terkait dengan stadium parasit.
Cacing dewasa hidup dalam limfa sampai beberapa tahun sedangkan microfilaria hanya
hidup beberapa bulan dalam darah dan akan mati jika tidak segera terhisap oleh vector
(nyamuk). Respon imun yang mucul terhadap pada cacing dewasa berbeda dengan
respon imun pada mikrofilaria. Implikasi yang ditimbulkan oleh respon imun
diantara kedua stadium tersebut juga berbeda. Pada cacing dewasa respon imun akan
terkait dengan formasi kaki gajah sebagai ciri klinis klasik dari limfatik
filariasis. Sebaliknya respon imun pada mikrofilaria cenderung berimplikasi
pada kejadian amikrofilaremia dan terjadinnya TPE. Didaerah endemik, individu
yang menunjukkan amikrofilaremia dan tanpa gejala klinis memiliki antibodi
terhadap selubung mikrofilaria lebih tinggi dibanding individu yang menunjukkan
mikrofilaremia (MCMAHON dan SIMONSEN, 1996). Didaerah endemic paparan dan
reinfeksi terjadi secara berulang dan periodik serta bervariasi dalam hal kuantitas
parasit sehingga stimulasi antibody berlangsung kontinyu. Namun demikian, jumlah
individu resisten tidak selalu lebih besar dibanding yang peka. Amikrofilaremia
tidak selalu berarti bahwa mikrofilaria dapat terliminasi sempurna tetapi
mungkin juga bermigrasi ke jaringan atau organ. Tampaknya interaksi parasit –
inang merupakan kunci dari imunopatogenesis tersebut, terlebih meskipun amikrofilaremia,
individu tersebut masih mungkin mengalami TPE.
Meskipun
antibodi pada paparan berulang dalam waktu lama dapat terbentuk tetapi tampaknya
pada awal awal paparan respon imun terhadap mikrofilaria cenderung tidak protektif.
Hasil penelitian in vitro dengan sel dendritik manusia memperlihatkan
bahwa MFAg (antigen solubel dari mikrofilaria) mampu menginduksi sel dendritik
untuk mengalami maturasi tanpa disertai peningkatan kemampuan sekresi IL 12 dan
IL 10 secara bermakna dan tidak optimalnya presentasi antigen pada limfosit
(SEMNANI et al., 2001). Kedua sitokin tersebut bersama dengan presentasi
antigen pada limfosit sangat esensial untuk regulasi dan aktivasi komponen
seluler dan humoral pada respon imun adaptif maupun natural. Fenomena tersebut member
penjelasan atas kemapuan mikrofilaria untuk bertahan hidup dalam darah sampai beberapa
bulan tanpa dapat dieliminasi sempurna oleh antibodi. Terstimulasinya sistem
imun untuk berespon dan menghasilkan antibodi atau komponen seluler adaptif
spesifik terhadap mikrofilaria diduga terjadi akibat paparan berulang pada
individu tersebut dalam jangka waktu lama seperti terlihat pada sebagian individu
yang tinggal didaerah endemik.
Di daerah
endemik, terjadi kenaikan titer IgG4 yang lebih tinggi dibanding IgG1, IgG2 dan
IgG3 pada individu yang amikrofilaremia, mikrofilaremia dan elefantiasis
(SUYOKO, komunikasi pribadi). Hal ini tidak mengejutkan mengingat bahwa
regulasi pembentukan IgG4 dibawah kendali IL4 sedangkan IgG1 dan IgG3 dibawah
kendali IL 10 yang produksinya relative rendah pada paparan MFAg seperti
dilaporkan SEMNANI et al. (2001). Sebalinya IgG2 yang cenderung kurang
protektif dan kurang terstimulasi pada filariasi juga dipandang wajar mengingat
sintesis antibodi tersebut dibawah regulasi IFNg yang rendah seperti dinyatakan
oleh SEMNANI et al. (2001). Namun pada individu yang mengalami
elefantiasis tingkat kenaikan IgG3 dan IgG1 lebih tinggi disbanding individu
yang tidak mengalami elefantiasis. Demikian pula dengan IgE yang meningkat pada
individu amikrofilaremia simtomatik dibanding individu mikrofilaria asimtomatik
(SUYOKO, komunikasi pribadi).
Terdapat
perbedaan umum sifat subklas IgG terkait dengan proteksi dan progresifitas patologi.
Peningkatan IgG3 dan IgG1 pada penderita elefantiasis sangat korelatif dengan terjadinya
granuloma inflamatorik yang obstruktif pada pembuluh limfe. Hal ini disebabkan
karena IgG3 dan IgG1 sangat mudah membentuk komplek antigen-antibodi dan
berikatan secara sangat kuat dengan komponen seluler (monosit, makrofag, neutrofil)
melalui reseptor FcγRI ataupun berekasi lemah dengan FcγRIII (pada monosit, makrofag,
sel NK dan limfosit T). Disisi lain, IgG3 dan IgG1 mampu mengaktivasi kompleman
melalui jalur klasik yang secara alamiah akan menghasilkan efek samping produk
C2a, C3a dan C5a yang bersifat anafilotoksin. Sifat sifat tersebut secara keseluruhan
dan integratif sangat terkait dengan pembentukan granuloma inflamatorik pada
penderita filariasis dan memicu terjadinya elefantiasis. Walaupun IgG4 juga dapat
berikatan dengan komponen seluler dari system imun sepertihalnya IgG3 dan IgG1
namun kemampuannya sangat rendah dibanding kedua subklas IgG tersebut sehingga
diperkirakan tidak banyak terlibat dalam formasi kaki gajah (elefantiasis).
Adapun TPE
tampaknya terkait dengan IgE (dominan) dan IgG4 yang telah diketahui kemampuannya
menembus jaringan lebih tinggi dibanding subklas IgG lainnya. Hal tersebut
digeneralisir dari sifat IgG4 dan IgG2 yang mampu menembus plasenta sedang IgG3
dan IgG1 tidak mampu menembus plasenta (SNAPPER dan FINKELMAN, 1998). Reaksi inflamasi
jaringan dan persisten hipereosinofilia yang menyertai TPE merupakan penghubung
keterkaitan gejala tersebut dengan keberadaan IgE maupun IgG4 yang mampu
mengaktivasi komplemen melalui jalur alternatif.
3.7 Mekanisme Penularan
Seseorang
dapat tertular atau terinfeksi penyakit kaki gajah apabila orang tersebut
digigit nyamuk yang infektif yaitu nyamuk yang mengandung larva stadium III (
L3 ). Nyamuk tersebut mendapat cacing filarial kecil ( mikrofilaria ) sewaktu
menghisap darah penderita mengandung microfilaria atau binatang reservoir yang
mengandung microfilaria. Siklus Penularan penyakit kaiki gajah ini melalui dua
tahap, yaitu perkembangan dalam tubuh nyamuk ( vector ) dan tahap kedua
perkembangan dalam tubuh manusia (hospes) dan reservoair.
Tidak
seperti Malaria dan Demam berdarah, Filariasis dapat ditularkan oleh 23 spesies
nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes & Armigeres. Karena
inilah, Filariasis dapat menular dengan sangat cepat. Yang harus diketahui
adalah, seseorang yang sudah menderita kaki gajah atau yang kakinya sudah bengkak
luar biasa, tidak bisa menularkan penyakitnya lagi. Justru mereka yang
kelihatannya sehat dan belum mengalami pembengkakan, tapi punya larva
mikrofilarialah yang bisa menularkan penyakit itu pada orang lain.
3.8
Simptomatologi
Seseorang
yang terinfeksi penyakit kaki gajah umumnya terjadi pada usia kanak-kanak,
dimana dalam waktu yang cukup lama (bertahun-tahun) mulai dirasakan
perkembangannya. Adapun gejala akut yang dapat terjadi antara lain :
Ø Demam
berulang-ulang selama 3-5 hari, demam dapat hilang bila istirahat dan muncul
lagi setelah bekerja berat
Ø Pembengkakan
kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan paha, ketiak
(lymphadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit
Ø Radang
saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang menjalar dari
pangkal kaki atau pangkal lengan kearah ujung (retrograde lymphangitis)
Ø Filarial
abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah bening, dapat
pecah dan mengeluarkan nanah serta darah
Ø Pembesaran
tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak kemerahan dan terasa
panas (early lymphodema)
Sedangkan
gejala kronis dari penyakit kaki gajah yaitu berupa pembesaran yang menetap (elephantiasis) pada tungkai, lengan,
buah dada, buah zakar (elephantiasis
skroti).
3.9
Pencegahan dan Penanggulangan
a.
Pencegahan
Bagi penderita penyakit gajah diharapkan kesadarannya untuk memeriksakan
kedokter dan mendapatkan penanganan obat-obtan sehingga tidak menyebarkan
penularan kepada masyarakat lainnya. Untuk itulah perlu adanya pendidikan dan
pengenalan penyakit kepada penderita dan warga sekitarnya.
Pemberantasan nyamuk diwilayah masing-masing sangatlah penting untuk memutus
mata rantai penularan penyakit ini. Menjaga kebersihan lingkungan merupakan hal
terpenting untuk mencegah terjadinya perkembangan nyamuk diwilayah tersebut.
Berusaha menghindarkan diri dari gigitan nyamuk dengan cara :
-Tidur memakai kelambu
-Lubang-lubang/ ventilasi rumah ditutup dengan kawat kasa halus
-Tidak membiarkan nyamuk-nyamuk bersarang didalam atau disekitar rumah
-Membunuh nyamuk dengan obat semprot nyamuk
Membersihan tanaman air atau selokan untuk menghilangkan tempat
bersarangnya nyamuk.
b.
Penanggulangan
Tujuan utama dalam penanganan dini terhadap penderita penyakit kaki gajah
adalah membasmi parasit atau larva yang berkembang dalam tubuh penderita,
sehingga tingkat penularan dapat ditekan dan dikurangi.
Dietilkarbamasin {diethylcarbamazine (DEC)} adalah satu-satunya obat filariasis
yang ampuh baik untuk filariasis bancrofti maupun malayi, bersifat
makrofilarisidal dan mikrofilarisidal. Obat ini tergolong murah, aman dan tidak
ada resistensi obat. Penderita yang mendapatkan terapi obat ini mungkin akan
memberikan reaksi samping sistemik dan lokal yang bersifat sementara dan mudah
diatasi dengan obat simtomatik.
Dietilkarbamasin
tidak dapat dipakai untuk khemoprofilaksis. Pengobatan diberikan oral sesudah
makan malam, diserap cepat, mencapai konsentrasi puncak dalam darah dalam 3
jam, dan diekskresi melalui air kemih. Dietilkarbamasin tidak diberikanpada
anak berumur kurang dari 2 tahun, ibu hamil/menyusui, dan penderita sakit berat
ataudalam keadaan lemah.
Namun pada
kasus penyakit kaki gajah yang cukup parah (sudah membesar) karena tidak
terdeteksi dini, selain pemberian obat-obatan tentunya memerlukan langkah
lanjutan seperti tindakan operasi.
Untuk memberantas penyakit filariasis ini sampai tuntas WHO sudah menetapkan Kesepakatan Global, yaitu The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health problem by The Year 2020 (ANONIM, 2002). Program eliminasi dilaksanakan melalui pengobatan masal dengandengan kombinasi diethyl
carbamazine (DEC) dan albendazole (Alb) yang direkomendasikan setahun sekali selama lima tahun.
Untuk melaksanakan Eliminasi ini WHO menetapkan 2 strategi utama yaitu:
1. Pemutusan rantai penularan dengan cara pengobatan massal kepada penduduk di Kecamatan Endemis, dengan menggunakan DEC dan Albendazole setahun sekali, selama 5 – 10 tahun.
2. Penatalaksanaan kasus klinis untuk mencegah kecacatan.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Ø Filariasis
merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh cacing filaria yang ditularkan
melalui berbagai jenis nyamuk. Terdapat tiga spesies cacing penyebab Filariasis
yaitu: Wuchereria bancrofti; Brugia malayi; Brugia timori.
Ø Filariasis
dapat ditularkan oleh seluruh jenis spesies nyamuk. Di Indonesia diperkirakan
terdapat lebih dari 23 spesies vektor nyamuk penular filariasis yang terdiri
dari genus Anopheles, Aedes, Culex, Mansonia, dan Armigeres. Untuk
menimbulkan gejala klinis penyakit filariasis diperlukan beberapa kali gigitan
nyamuk terinfeksi filaria dalam waktu yang lama.
Ø Berdasarkan
laporan tahun 2009, tiga provinsi dengan jumlah kasus terbanyak filariasis
adalah Nanggroe Aceh Darussalam (2.359 orang), Nusa Tenggara Timur (1.730
orang) dan Papua (1.158 orang). Tiga provinsi dengan kasus terendah adalah Bali
(18 orang), Maluku Utara (27 orang), dan Sulawesi Utara (30 orang), dapat
dilihat pada Gambar 2. Kejadian filariasis di NAD sangat menonjol bila
dibandingkan dengan provinsi lain dan merupakan provinsi dengan jumlah kasus
tertinggi di seluruh Indonesia.
Ø Manifestasi
klinis filariasis dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk usia, jenis
kelamin, lokasi anatomis cacing dewasa filaria, respon imun, riwayat pajanan
sebelumnya, dan infeksi sekunder.
Ø Seseorang
dapat tertular atau terinfeksi penyakit kaki gajah apabila orang tersebut
digigit nyamuk yang infektif yaitu nyamuk yang mengandung larva stadium III (
L3 ). Nyamuk tersebut mendapat cacing filarial kecil ( mikrofilaria ) sewaktu
menghisap darah penderita mengandung microfilaria atau binatang reservoir yang
mengandung microfilaria. Siklus Penularan penyakit kaiki gajah ini melalui dua
tahap, yaitu perkembangan dalam tubuh nyamuk ( vector ) dan tahap kedua
perkembangan dalam tubuh manusia (hospes) dan reservoair.
Ø Bagi
penderita penyakit gajah diharapkan kesadarannya untuk memeriksakan kedokter
dan mendapatkan penanganan obat-obtan sehingga tidak menyebarkan penularan
kepada masyarakat lainnya. Untuk itulah perlu adanya pendidikan dan pengenalan
penyakit kepada penderita dan warga sekitarnya.Pemberantasan nyamuk diwilayah
masing-masing sangatlah penting untuk memutus mata rantai penularan penyakit
ini. Menjaga kebersihan lingkungan merupakan hal terpenting untuk mencegah terjadinya
perkembangan nyamuk diwilayah tersebut.
4.2 Saran
Ø Menjaga kebersihan diri dan
lingkungan merupakan syarat utama untuk menghindari infeksi filariasis.
Ø Pemberantasan nyamuk dewasa dan
larva perlu dilakukan sesuai aturan dan indikasi.
Ø Pemerintah harus terjun langsung
kemasyarakat untuk memberikan penyuluhan kepada masyakat.
Langganan:
Postingan (Atom)